Rabu, 08 Januari 2014

TAUTAN HATI



Langkah selanjutnya adalah ‘mempertautkan hati’. Menyatukan ego yang terpisah. Karena kebersatuan bukanlah sekedar berkumpulnya dua ego yang berbeda dalam satu ‘rumah’, melainkan meleburkannya.
            Bagaikan dua insan yang sedang di mabuk asmara, dan kemudian memutuskan untuk menikah membangun sebuah mehligai cinta. Di dalam mahligai itulah dua ego berbeda, untuk mempertautkan hati yang berbeda.
            Apa yang harus dilakukan? Apakah sang istri yang harus mengikuti ego sang suami, ataukah sang suami yang mengikuti ego sang istri?
            Ketika suami mengharap sang istri mengikuti egonya sendiri, yang terjadi adalah ‘penjajahan cinta’. Ia sebenarnya tidak mencintai istri, tetapi ‘menjajah’ agar mau tunduk kepadanya. Ia tidak mengakui bahwa sang istri adalah ego yang berbeda.
            Begitu pula sebaliknya, ketika istri menghendaki sang suami memenuhi segala kemauan egonya, ia juga sedang memaksa ego suami ke dalam penguasaan egonya sendiri. Ini bukan mekanisme cinta dan kasih sayang, melainkan mekanisme ‘penjajahan’. Hasilnya, bukan kebahagiaan, melainkan pertengkaran, perkelahian, dan penderitaan. Masing-masing ingin menguasai yang lain.
            Cinta tidak menawarkan pertengkaran, perebutan kekuasaan, dan penderitaan. Cinta menawarkan jalan keseimbangan tanpa kemenangan, tanpa kekalahan, tanpa kesombongan, tanpa keserakahan. Cuma kebahagiaan.
            Bagaimana bisa demikian? Kuncinya Cuma satu, jangan menonjolkan ‘aku’, jangan larut dalam ego masing-masing. Mesti mempertautkan hati, meleburkan dua pribadi yang berbeda menjadi satu. Hanya dalam cinta atas nama kasih sayang.
            Mencintai adalah memberi, bukan menuntut. Kasih sayang adalah ‘mengasihi’ dan ‘menyayangi’. Pemberian bakal melimpahkan kesenangan dan kebahagiaan. Tuntutan menghasilkan rasa tertekan dengan segala persoalannya.
            Kalau kedua ego selalu memberikan sesuatu atas nama cinta kepada pasangannya, maka yang ada Cuma rasa senang dan bahagia. Tetapi ketika masing-masing menonjolkan tuntutan, maka yang muncul adalah ketidak puasan. Karena tidak ada orang yang bisa mwmuaskan ego kita.
            Hati bukan lagi bertaut, melainkan berhadap-hadapan untuk saling menghakimi dengan tuduhan-tuduhan yang. Pertautkanlah hati dengan cara ‘menyerahkan’ hati kita kepadanya. Maka ia akan membalas dengan ‘menyerahkan’ hatinya kepada kita. Itulah makna cinta yang sejati, berserah diri untuk kebahagiaan orang yang di cintai.
Maka yang berbahagia bukan hanya yang di cintai, melainkan justru orang yang mencintai. Ia yang lebih banyak merasakan kebahagiaan. Jika orang yang di cintai tidak membalasnya dengan rasa cinta , NO PROBLEM, justru ia yang akan kehilangan kebahagiaan, tidak merasakan kebahagiaan, ia akan hanya berkutat dengan ketidak puasan-ketidak puasan egonya. Sekali lagi, kebahagiaan hanya milik orang-orang yang bisa mencintai.
Bagaimanakah ‘mempertautkan hati’ dengan Allah? Apakah sama dengan mempertautkan hati dua insan yang sedang di mabuk cinta?
Tentu saja tidak sama persis, tapi memiliki kemiripan. Pada intinya, mempertautkan hati hati seorang hamba dengan Tuhannya adalah sebuah proses ‘berserah diri’. Bukan sederet tuntutan dalam do’a yang panjang untuk di cintai. Karena, sebenarnya Allah sudah selalu mencintai kita, dan akan seterusnya mencintai kita.
Tetapi, kenapa kita sering kali tidak bisa merasakannya? Karena kita belum mencintai-Nya. Ingatlah, bahwa rasa bahagia hanya bisa muncul pada orang-orang yang sedang jatuh cinta. Yang mencintai, bukan yang di cintai. Semakin menuntut, semakin tidak puas. Sebaliknya, semakin berserah diri, semakin puaslah kita.
Jadi ketika kita mencintai Allah, tiba-tiba kita bisa merasakan betapa besar cinta-Nya kepada kita. Betapa banyaknya yang telah Ia berikan kepada kita. Lalu kemudian kita merasakan nikmat yang luar biasa terhadap segala yang Ia berikan kepada kita.
Hal demikian, tidak akan pernah bisa di rasakan oleh orang-orang yang tidak mencintai. Apalagi yang selalu menuntut untuk di cintai. Karena orang yang menuntut selalu berpikir tentang apa yang akan di dapat, bukan apa yang sedang di terima. Dia tidak pernah bisa merasakan apa yang telah dia miliki, tapi apa yang dia angan-angankan. Ya..! dia hanya hidup dalam angan-angan egonya belaka.
Disinilah kuncinya, kenapa kita selalu merasakan ketidak puasan. Bahkan, kadang merasa gagal dan bahkan menderita karenanya. Sepertinya hidup kita jauh dari rasa tenteram dan damai. Jawabanya, karena tuntutan kita kepada Allah semikian besarnya. Karena kita tidak belajar menyerahkan hasil atas keputusan-keputusan  dan keinginan kita kepada-Nya saja. Kita serakah, padahal semua itu hanyalah fatamorgana, semu belaka.


“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Al-Baqarah(2) : 96)

Ayat diatas menggambarkan betapa banyak manusia demikian serakahnya terhadap kehidupan dunia. Mereka terjebak dalam fatamorgana, seakan-akan dunia ini bisa memuaskan dan membahagiakan selama-lamanya. Sehingga mereka ingin hidup seribu tahun. Kata Allah mereka keliru, sebab umur panjang itu tidak akan melepaskan mereka dari penderitaan. Manusia tidak bisa terlepas dari sifat uzur dan penyakit-penyakit degeneratif. Penyakit tua, akan tetapi angan-angan mereka terlalu melambung. Mengejar kepuasan tiada batas, yang tiada akan pernah bisa memenuhi ego mereka.
Jadi, apa yang mesti dilakukan? Hanya satu, serahkan segala hasil kepada Allah saja. Kita Cuma berusaha untuk mencapainya tanpa harus tejebak oleh angan-angan palsu. Allah pasti akan memilihkan yang terbaik buat kita. Berserah dirilah hanya kepada Allah.


“Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”(Qs. Al-Hadid(57) : 20)


“Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (Qs. Al-Fathir(35) : 5)



“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Qs. Ali Imran(3): 83)


“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Az-Zumar(39) : 38)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar